Wednesday, April 18, 2012

AKU ZIONIS: Sebungkus Cinta Untuk Nyanyian Bidadari Surga




Di setiap pertempuran, aku selalu menang, tentu saja dengan kehendak Allah, karena matangnya pe­rencanaan perang,” _Shalahuddin Al-Ayyubi_
Allâhu ghâyatunâ, ar-Rasuul qudwatunâ, al-Qur'an dustuurunâ, al-Jihâd sabîlunâ, al-mautu fî sabiliLlah asmâ amânînâ

Menjelang tengah malam. Kampung kecil di selatan itupun mulai hening. Hanya sesekali terdengar suara orang mengaji. Kareem masih belum tidur. Ayessa kecil masih mengaji. Umi terlelap. Kemudian… terdengar keriuhan. Suara senapan. Pistol. Dentuman. Suara ledakan. Gemuruh. Teriakan…
“Serang!”
“Tembak”
“Bunuh!”
Hiruk pikuk. Semua berlari menyelamatkan diri. Banyak yang telah tertembak. Ratapan, tangisan, jeritan semakin memerihkan malam! Para lelaki, mencoba melawan dengan senjata seadanya. Bahkan dengan batu. Api berkobar. Orang-orang terkapar. Menggelepar. Seperti ikan-ikan yang terlempar dari air kehidupan. Darah muncrat, mengalir, lalu membentuk beberapa genangan. Pekat. Kareem berjaga di pintu “BRAAK!”
Pintu kayu hancur berantakan diterjang mortir. Kareem terpental. Kepalanya? remuk terkena pecahan mortir. Ia syahid.
“Nak, tolooong!”
“Umiiiiiiii!”
DOR! DOR!
Perempuan itu tersungkur di ranjang anaknya, dengan kepala tertembus timah panas. Umi syahid.
Ayessa terbelalak! Ternganga! Terpaku. Tak bergerak.
Yahudi laknatullah menarik-narik jilbabnya sambil tertawa tanpa henti. Lalu merobeknya kasar dengan belati! Ayessa mencoba meloloskan diri. Ia menggigit, mencakar, menendang, meludahi Yahudi jahanam itu! ia berhasil merampas sebuah senjata! Ya, meski ia terjerembab. Dengan seluruh kekuatannya ia menumpahkan isi senjata ke arah lima tentara Israel itu. Lalu dengan sisa-sisa tenaga ia berlari. Jatuh bangun. Tersengal-sengal. Kadang tersandung tubuh-tubuh manusia yang terbongkar, di tengah jalan…. Di malam yang gelap larinya semakin cepat. Cepat sekali.
Ia selamat. Allah Maha Kuasa.
Di mana Pasukan perdamaian? Di mana HAM? Ayessa berteriak! Marah. Semua hanya kebohongan Amerika dan Israel. Mereka berkawan. Biadab.
“Sungguh…, aku rindu sosok Shalahuddin Al-Ayyubi, rindu Allah…..” lirih bocah kecil ini tanpa daya.
Allâhumma 'alaika bi a'da ad-dîn,  Allâhumma Dammir juyushul Amrîkâ wal yahûd, Allâhumma harrir masjidal aqshâ.
Hening. Karena ini hanya sepenggal episode bagian tubuh kita di Palestina karena islam satu tubuh.
***
Angin dingin Menusuk tulang. Membekukan Gaza dengan segala kegalauan. Gerimis turun menyapa keheningan. Mengencerkan ceceran darah, di sepanjang jalan. Mengusir asap kepedihan yang mengepul, dari bangunan yang telah menjadi puing.  Kupandangi gadis kecil yang kutemukan bersama genggaman Kitab nya, Ayyesa namanya . Wajah cantiknya menyembul dari balik jendela mesjid yang setengah rusak. Ia tampak lusuh. Wajahnya berdebu dan jilbabnya kumal, compang-camping dan terkena percikan darah di sana-sini. Meski lelah, wajah itu tetap keras. Cantik. Secantik rembulan. Dingin. Sedingin tiupan angin malam ini. Hatinya tersayat. Sepucuk senjata ada dalam genggamannya. Setetes air bergulir di pipinya. Setangkai dekapan ghiroh Shalahuddin Al-Ayubbi yang sering ku dengar kisah heroik nya nampak tegar di matanya.  Tetap saja aku tidak ingin berperasaan menolong bocah palestina ini, toh di negeri ku sudah melimpah orang-orang seperti ini lupakan saja kutil yang satu ini.
***
  Lewat tengah malam. Kapal bernama Mavi Marmara itu melaju lebih pelan setelah dikepung oleh kapal-kapal kami , pun helikopter yang seolah mengintainya dari udara. Aku sendiri kini telah berada dalam kapal besar itu setelah sebelumnya mengudara bersama tentara-tentara lain dengan helikopter yang 'menjemput' Mavi Marmara.
     Detik ini, aku bisa merasakan dengan jelas atmosfer ketakutan yang perlahan menyelimuti kapal beserta lebih dari tujuh ratus aktivis kemanusiaan yang ada di dalamnya. Ciihhh, aku memalingkan muka. Apakah mereka benar-benar tulus membantu saudara mereka disini atau hanya mengharap pujian setelah mereka kembali ke tanah air? Beriringan dengan derap langkahku yang menggiring penumpang kapal ke suatu tempat, hatiku kembali bertanya dan jiwaku  kembali meronta meminta jawaban dariku. Sebenarnya untuk apakah aku melakukan semua ini ? Sebejat inikah diriku sekarang? Ahhh. Aku menepisnya. Kenapa pikiran-pikiran ini yang kerap hadir setelah saraf pendengaranku menangkap suara Ayessa yang mendendangkan kitab nya di balik reruntuhan mesjid. Entahlah, yang aku rasakan, suara itu tak ubahnya nyanyian bidadari surga yang mewujud kedamaian. 
     “ Wa laa tahsabannalladziina qutiluu fii sabilillahi amwataa, bal ahyaaaa un 'inda ribbihim yurzaquun
     Sial !, dari sudut ruangan  ini aku menangkap lagi suara itu. Suara yang berhasil menggedor-gedor bilik hatiku dengan sentuhan  kelembutannya. Suaranya masih sama, persis sama dengan yang aku dengar di balik reruntuhan mesjid itu.
      Saat itu, setelah dengan pongahnya aku mengambil foto di belakang mayat laki-laki yang mereka sebut syuhada. Penglihatanku merekam satu persatu kehancuran di negeri ini yang tak lain akibat kebiadaban kami, zionis israel. Seperti itulah yang aku dengar dari media massa. Kami biadab ? Aku terkekeh memikirkannya. Langkah kaki ini seolah menjadi pembilang dari sekian banyak luka dan duka yang penduduk negeri ini rasakan. Satu langkah, tanah mereka kami curi. Dua langkah, negeri mereka kami blokade. Tiga langkah, kami tumpahkan darah mereka. Empat langkah, kami hancurkan rumah-rumah mereka. Dan lima langkah, tepat pada langkah kelima aku mendengar lagi suara yang menjelma nyanyian bidadari surga itu dari balik reruntuhan mesjid. Balutan ketakutan sangat terasa pada suaranya.
    Steve ! Tembak orang itu !” Renaud menggertakku dari arah belakang. Kuarahkan senapan pada orang yang ditunjuk Paul. Jelas terlihat orang itu menggigil ketakutan, seketika wajahnya pucat pasi. Tubuh orang itu tidak terlalu tinggi, rambutnya hitam legam, matanya bulat, dan hidungnya kecil. Jelas sekali gambaran orang asia ada pada orang itu, atau mungkin orang indonesia tepatnya. Orang itu tampak komat-kamit sebelum akhirnya timah panas menembus jantungnya.
    “Dor”
     Hening seketika. Hawa kematian dengan cepat menjalar. Namun tak lama setelahnya, gema yang sering kudengar di negeri ini, kudengar lagi disini.
    “Allahu Akbar. Allahu Akbar !”
    Dalam gema ini masih saja kudengar nyanyian bidadari itu. Demi Tuhan, aku tak pernah mendengar satu suara pun yang efeknya sedahsyat ini pada jiwaku.
     “Yaaaa ayyuhalldziina aamanushbiruu washoobiruu waroobithuu, wattaqulloha la'allakum tuflihuun”
      Pertanyaan dari relung jiwaku kembali muncul. Untuk apa ? Untuk apa ? Lagi-lagi aku menepisnya, mungkin hatiku memang  terlanjur kebal untuk melihat penderitaan demi penderitaan yang penduduk negeri ini rasakan. Bukankah jika mereka kalah, kami akan mendapatkan tanah mereka ? Tapi aku berani bersaksi dengan jiwaku, jika penduduk negeri ini bukanlah orang-orang yang mudah dikalahkan. Orang tua, remaja bahkan anak-anak, sama saja. Dalam diri mereka telah tertanam benih-benih perjuangan yang kurasa takkan pernah melayu sampai kapan pun. Aku pun tak boleh kalah dari mereka.  Meskipun terkadang nuraniku sendiri tak merestui perbuatanku.
     “Steve ! Tembak lagi !”  lagi-lagi Renaud menggertakku.
     Dengan membabi buta, kuarahkan moncong senjataku pada siapa pun yang ada di ruangan ini.  Desingan peluru dari tentara-tentara kami saling bersahutan dengan gema yang selalu kudengar di setiap sudut negeri ini.
    'Dor'
    'Allahu Akbar'
     Tubuh mungil di sudut ruangan, kini terkulai lemah. Peluruku tepat bersarang di kepalanya. Kitab yang tadi dibacanya turut terjatuh. Aku menghampiri tubuh itu dan entah kenapa perasaan bersalah tiba-tiba menjalariku. Dengan gemetar kuraih kitab itu kemudian  membuka halaman demi halaman yang dari huruf-hurufnya terdendangkan nyanyian bidadari surga.  Aku menangis.
      “Steve ! Tembak lagi”
      'Dor'
    Kusumpal mulut Renaud selama-lamanya dengan senapan yang telah melenyapkan pendendang nyanyian surga. Ayessa.
***


(Aku hanya separuh di langit Perjuangan ini masih terus berlangsung. Dan aku hanya sebagai penonton. Karena aku membeku disini.Tulisan ini didedikasikan untuk saudara seiman ku di Uzbek, palestina, Irak, dan negara terjajah lainnya. Bumi Allah yang jauh di seberang. Mengenang syahidnya sahabatku,kami bersamamu...ukhti, bagaimana rasanya berjumpa Allah ? Salam rindu dari sini :’) )

1 comment: