”Di setiap
pertempuran, aku selalu menang, tentu saja dengan kehendak Allah, karena
matangnya perencanaan perang,” _Shalahuddin Al-Ayyubi_
Allâhu ghâyatunâ, ar-Rasuul qudwatunâ,
al-Qur'an dustuurunâ, al-Jihâd sabîlunâ, al-mautu fî sabiliLlah asmâ amânînâ
Menjelang tengah malam. Kampung kecil di selatan itupun mulai
hening. Hanya sesekali terdengar suara orang mengaji. Kareem masih belum tidur.
Ayessa kecil masih mengaji. Umi terlelap. Kemudian… terdengar keriuhan. Suara
senapan. Pistol. Dentuman. Suara ledakan. Gemuruh. Teriakan…
“Serang!”
“Tembak”
“Bunuh!”
Hiruk pikuk. Semua berlari menyelamatkan diri. Banyak yang telah
tertembak. Ratapan, tangisan, jeritan semakin memerihkan malam! Para lelaki,
mencoba melawan dengan senjata seadanya. Bahkan dengan batu. Api berkobar.
Orang-orang terkapar. Menggelepar. Seperti ikan-ikan yang terlempar dari air
kehidupan. Darah muncrat, mengalir, lalu membentuk beberapa genangan. Pekat.
Kareem berjaga di pintu “BRAAK!”
Pintu kayu hancur berantakan diterjang mortir. Kareem terpental.
Kepalanya? remuk terkena pecahan mortir. Ia syahid.
“Nak, tolooong!”
“Umiiiiiiii!”
DOR! DOR!
Perempuan itu tersungkur di ranjang anaknya, dengan kepala
tertembus timah panas. Umi syahid.
Ayessa terbelalak! Ternganga! Terpaku. Tak bergerak.
Yahudi laknatullah menarik-narik jilbabnya sambil tertawa tanpa
henti. Lalu merobeknya kasar dengan belati! Ayessa mencoba meloloskan diri. Ia
menggigit, mencakar, menendang, meludahi Yahudi jahanam itu! ia berhasil
merampas sebuah senjata! Ya, meski ia terjerembab. Dengan seluruh kekuatannya
ia menumpahkan isi senjata ke arah lima tentara Israel itu. Lalu dengan sisa-sisa
tenaga ia berlari. Jatuh bangun. Tersengal-sengal. Kadang tersandung
tubuh-tubuh manusia yang terbongkar, di tengah jalan…. Di malam yang gelap
larinya semakin cepat. Cepat sekali.
Di mana Pasukan perdamaian? Di mana HAM? Ayessa berteriak!
Marah. Semua hanya kebohongan Amerika dan Israel. Mereka berkawan. Biadab.
“Sungguh…, aku rindu sosok Shalahuddin Al-Ayyubi, rindu Allah…..”
lirih bocah kecil ini tanpa daya.
Allâhumma 'alaika bi a'da ad-dîn, Allâhumma Dammir juyushul Amrîkâ wal yahûd,
Allâhumma harrir masjidal aqshâ.
Hening. Karena ini hanya sepenggal episode bagian tubuh kita di
Palestina karena islam satu tubuh.
***
Angin dingin Menusuk tulang. Membekukan Gaza dengan segala
kegalauan. Gerimis turun menyapa keheningan. Mengencerkan ceceran darah, di
sepanjang jalan. Mengusir asap kepedihan yang mengepul, dari bangunan yang
telah menjadi puing. Kupandangi gadis
kecil yang kutemukan bersama genggaman Kitab nya, Ayyesa namanya . Wajah
cantiknya menyembul dari balik jendela mesjid yang setengah rusak. Ia tampak
lusuh. Wajahnya berdebu dan jilbabnya kumal, compang-camping dan terkena
percikan darah di sana-sini. Meski lelah, wajah itu tetap keras. Cantik.
Secantik rembulan. Dingin. Sedingin tiupan angin malam ini. Hatinya tersayat.
Sepucuk senjata ada dalam genggamannya. Setetes air bergulir di pipinya.
Setangkai dekapan ghiroh Shalahuddin Al-Ayubbi yang sering ku dengar
kisah heroik nya nampak tegar di matanya.
Tetap saja aku tidak ingin berperasaan menolong bocah palestina ini, toh
di negeri ku sudah melimpah orang-orang seperti ini lupakan saja kutil yang
satu ini.
***
Lewat tengah malam. Kapal bernama Mavi Marmara itu melaju
lebih pelan setelah dikepung oleh kapal-kapal kami , pun helikopter yang seolah
mengintainya dari udara. Aku sendiri kini telah berada dalam kapal besar itu
setelah sebelumnya mengudara bersama tentara-tentara lain dengan helikopter
yang 'menjemput' Mavi Marmara.
Detik ini, aku bisa merasakan dengan jelas atmosfer ketakutan
yang perlahan menyelimuti kapal beserta lebih dari tujuh ratus aktivis
kemanusiaan yang ada di dalamnya. Ciihhh, aku memalingkan muka. Apakah mereka
benar-benar tulus membantu saudara mereka disini atau hanya mengharap pujian
setelah mereka kembali ke tanah air? Beriringan dengan derap langkahku yang
menggiring penumpang kapal ke suatu tempat, hatiku kembali bertanya dan
jiwaku kembali meronta meminta jawaban dariku. Sebenarnya untuk apakah
aku melakukan semua ini ? Sebejat inikah diriku sekarang? Ahhh. Aku menepisnya.
Kenapa pikiran-pikiran ini yang kerap hadir setelah saraf pendengaranku
menangkap suara Ayessa yang mendendangkan kitab nya di balik reruntuhan mesjid.
Entahlah, yang aku rasakan, suara itu tak ubahnya nyanyian bidadari surga yang
mewujud kedamaian.
“
Wa laa tahsabannalladziina qutiluu fii sabilillahi amwataa, bal ahyaaaa un
'inda ribbihim yurzaquun”
Sial !, dari sudut ruangan ini aku menangkap lagi suara
itu. Suara yang berhasil menggedor-gedor bilik hatiku dengan sentuhan
kelembutannya. Suaranya masih sama, persis sama dengan yang aku dengar di balik
reruntuhan mesjid itu.
Saat itu, setelah dengan pongahnya aku
mengambil foto di belakang mayat laki-laki yang mereka sebut syuhada. Penglihatanku
merekam satu persatu kehancuran di negeri ini yang tak lain akibat kebiadaban
kami, zionis israel. Seperti itulah yang aku dengar dari media massa. Kami
biadab ? Aku terkekeh memikirkannya. Langkah kaki ini seolah menjadi pembilang
dari sekian banyak luka dan duka yang penduduk negeri ini rasakan. Satu
langkah, tanah mereka kami curi. Dua langkah, negeri mereka kami
blokade. Tiga langkah, kami tumpahkan darah mereka. Empat langkah,
kami hancurkan rumah-rumah mereka. Dan lima langkah, tepat pada langkah
kelima aku mendengar lagi suara yang menjelma nyanyian bidadari surga itu dari
balik reruntuhan mesjid. Balutan ketakutan sangat terasa pada suaranya.
“Steve
! Tembak orang itu !” Renaud menggertakku dari arah belakang. Kuarahkan senapan
pada orang yang ditunjuk Paul. Jelas terlihat orang itu menggigil ketakutan,
seketika wajahnya pucat pasi. Tubuh orang itu tidak terlalu tinggi, rambutnya
hitam legam, matanya bulat, dan hidungnya kecil. Jelas sekali gambaran orang
asia ada pada orang itu, atau mungkin orang indonesia tepatnya. Orang itu
tampak komat-kamit sebelum akhirnya timah panas menembus jantungnya.
“Dor”
Hening seketika. Hawa kematian dengan
cepat menjalar. Namun tak lama setelahnya, gema yang sering kudengar di negeri
ini, kudengar lagi disini.
“Allahu Akbar. Allahu Akbar !”
Dalam gema ini masih saja kudengar nyanyian
bidadari itu. Demi Tuhan, aku tak pernah mendengar satu suara pun yang efeknya
sedahsyat ini pada jiwaku.
“Yaaaa ayyuhalldziina
aamanushbiruu washoobiruu waroobithuu, wattaqulloha la'allakum tuflihuun”
Pertanyaan dari relung jiwaku kembali muncul. Untuk apa ? Untuk
apa ? Lagi-lagi aku menepisnya, mungkin hatiku memang terlanjur kebal
untuk melihat penderitaan demi penderitaan yang penduduk negeri ini rasakan.
Bukankah jika mereka kalah, kami akan mendapatkan tanah mereka ? Tapi aku
berani bersaksi dengan jiwaku, jika penduduk negeri ini bukanlah orang-orang
yang mudah dikalahkan. Orang tua, remaja bahkan anak-anak, sama saja. Dalam
diri mereka telah tertanam benih-benih perjuangan yang kurasa takkan pernah
melayu sampai kapan pun. Aku pun tak boleh kalah dari mereka. Meskipun
terkadang nuraniku sendiri tak merestui perbuatanku.
“Steve ! Tembak lagi !” lagi-lagi
Renaud menggertakku.
Dengan membabi buta, kuarahkan moncong
senjataku pada siapa pun yang ada di ruangan ini. Desingan peluru dari
tentara-tentara kami saling bersahutan dengan gema yang selalu kudengar di
setiap sudut negeri ini.
'Dor'
'Allahu Akbar'
Tubuh mungil di sudut ruangan, kini
terkulai lemah. Peluruku tepat bersarang di kepalanya. Kitab yang tadi
dibacanya turut terjatuh. Aku menghampiri tubuh itu dan entah kenapa perasaan
bersalah tiba-tiba menjalariku. Dengan gemetar kuraih kitab itu kemudian
membuka halaman demi halaman yang dari huruf-hurufnya terdendangkan nyanyian
bidadari surga. Aku menangis.
“Steve ! Tembak lagi”
'Dor'
Kusumpal mulut Renaud selama-lamanya dengan
senapan yang telah melenyapkan pendendang nyanyian surga. Ayessa.
***
(Aku hanya separuh di langit Perjuangan ini
masih terus berlangsung. Dan aku hanya sebagai penonton. Karena aku membeku
disini.Tulisan ini didedikasikan untuk saudara seiman ku di Uzbek, palestina,
Irak, dan negara terjajah lainnya. Bumi Allah yang jauh di seberang. Mengenang
syahidnya sahabatku,kami bersamamu...ukhti, bagaimana rasanya berjumpa Allah ?
Salam rindu dari sini :’) )
pemenang LOMBA Cerpen
ReplyDelete